Kebahagiaan yang Abadi
Sabtu, November 21, 2015
“Annn, yaampun sebulan ada kali
yah kita nggak ketemu” Rania memeluk erat Ana. Malam itu Ana janjian bertemu
dengan sahabatnya, Rania. Setelah sama-sama bekerja sulit mengatur waktu ketemu
dengan Rania, weekend pun rasanya
hanya ingin me time dirumah.
“Iya nih, calon pengantin apa
kabar?” Ana balas memeluk erat Rania, keduanya lalu bergandengan tangan
memasuki tempat makan favorite
mereka.
“Baik baik, lo sendiri gimana?”
“Seperti yang lo liat, bahagia”
Ana tersenyum “Gimana persiapan nikah lo, Ran?”
“persiapannya udah 90% kok, An.
Alhamdulillah banyak yang bantu”
“Syukur deh kalau banyak yang
bantu. Kalau lo perlu bantuan lo bilang sama gue yah” ujar Ana sambil
melihat-lihat menu makanan
“Iya, An. Gue punya sesuatu buat
lo”. Rania mengeluarkan bingkisan dan menyodorkannya pada Ana.
“Apaan nih, Ran?” tanya Ana
sambil mengintip bingkisan yang diberikan Rania
“Lo kan belum ada plan nikah, jadi lo jadi bridesmaid gue dulu yah, silahkan
dijahit kainnya” jawab Rania dengan nada mengejek sambil tertawa
Ana memonyongkan bibirnya. “Puas
banget, Ran. Terus ini apaan? Bukan kisah cinta lo sama kak Farel lo jadiin buku
kan?” Ana mengeluarkan buku dari bingkisan yang diberikan Rania
“Hahaha, sensi banget nih yang
jomblo. Bukanlah, An. Dulu lo pernah tanya kan, kenapa gue jatuh cinta sama kak
Farel?”
“Karena buku itu. Karena buku itu
gue jatuh cinta sama kak Farel dan milih dia jadi imam gue, An” Rania tersenyum
Ana mengerutkan dahinya, tapi ia
tak ingin menanyakannya lebih lanjut. Nanti deh gue baca, ujarnya dalam hati.
***
Sesampainya dirumah, Ana
cepat-cepat membuka buku yang diberikan Rania. Ana penasaran dengan yang
dikatakan Rania, bahwa jawaban mengapa ia menjatuhkan pilihan terakhirnya pada
Farel ada didalam buku ini. Selama ini kalau Ana bertanya seperti itu, Rania
hanya tersenyum dan berkata kalau ia tidak mau salah arah. Ana sendiri heran
mengapa Farel yang Rania pilih, selama ini Rania pacaran dengan beberapa cowok
tampan dan mapan. Segala keinginan Rania pun terpenuhi, namun selalu berakhir
tapi Rania nggak pernah cerita kenapa. Farel salah satu karyawan kepercayaan
Papahnya Rania. Farel yang sederhana, kalau harus dibandingkan dengan
mantan-mantan Rania jelas berbeda, apalagi soal kemapanan, tapi Rania bisa
jatuh cinta dengannya dalam waktu yang singkat dan memutuskan untuk menikah
setelah 6 bulan mereka berkenalan. Halaman per halaman Ana baca dengan fokus.
Hatinya tiba-tiba terasa sesak. Sampai dilembar terakhir ia membaca kemudian
menutupnya, air matanya tiba-tiba menetes. Sekarang, Ana tau mengapa Rania
memilih Farel sebagai imamnya.
***
“Nggak tau yah, An justru kesederhanaan
kak Farel yang bikin gue jatuh cinta sama dia. Keluarganya yang hangat bisa
bikin nyaman lebih dari keluarga gue sendiri. Perceraian bokap nyokap gue cukup
jadi contoh buat gue, An. Kalau uang bukan pangkal kebahagiaan. Mereka sibuk
dengan urusan masing-masing sehingga mereka jarang komunikasi bahkan ketemu, itu
yang menimbulkan perasaan curiga dan jadinya berantem terus. Mereka juga lupa
ada gue yang butuh kasih sayang mereka”
Ana mendengarkan cerita Rania
dengan serius. Ia sangat tau apa yang terjadi dengan Rania dan keluarganya, dan
ternyata itu salah satu alasan kenapa Rania memilih Farel.
“Gue liat bi Minah selalu
tersenyum tanpa ada beban dan gue tanya kenapa, dia bilang karena bi Minah
bahagia, gue sendiri heran, gaji bi Minah nggak seberapa, suaminya juga cuma
kuli bangunan yang kerjanya nggak menentu, dan dia masih bisa bilang bahagia. Dia
bilang bisa makan sehari 3x terus makannya bareng anak suami itu juga
kebahagiaan yang nggak ternilai, cape abis kerja aja jadi hilang. Bi Minah
bilang bahagia itu sederhana kalau kita menyederhanakannya”
Rania mulai meneteskan air
matanya. Ana pun. Terharu. Ana langsung memeluk sahabatnya itu.
“Awalnya gue nggak percaya
omongan bi Minah, An. Gue ngerasa lebih bahagia bisa beli barang-barang yang
gue suka, tapi sampe dirumah gue nggak liat nyokap bokap, cuma sendirian rasa
bahagia nya hilang, An. Itu cuma kepuasan semata aja” Rania mengusap air
matanya. “Gue nggak marah sama bokap nyokap gue, tapi itu bisa gue jadiin
contoh, keluarga yang gimana yang akan gue bangun kelak”
“Terus emang bokap lo setuju
waktu lo minta ijin untuk menikah dengan Farel?”
“Menurut lo gimana?”
Ana menggelengkan kepalanya.
Rania tersenyum. “Jelas bokap
nggak setuju, bokap sampai bilang beliau bisa cariin gue calon yang lebih
mapan. Awalnya gue kecewa kenapa bokap gitu, tapi setelah baca buku yang gue
kasih ke lo, gue tau kenapa bokap punya pikiran gitu dan orang yang paling
berat ngelepasin anak perempuannya nikah itu seorang ayah, karena ayah berusaha
mati-matian biayain kita sekolah dan selalu ingin anaknya mendapatkan yang
terbaik, dibalik pikirannya itu, gue tau bokap pasti takut suami gue nggak bisa
menuhin kehidupan gue seperti beliau”
Ana hanya bisa diam, Rania memang
sudah berubah, pikirannya lebih dewasa semenjak perceraian orang tua nya. Mulai
dari menutup rambutnya dengan kerudung, sikap, dan perkataannya jauh lebih
baik. Ana sendiri sudah berkerudung namun ia merasa sikapnya masih belum baik. Mungkin
itu juga yang menyebabkan Ana belum bertemu dengan jodohnya, namun ia bersyukur
ia masih dijauhkan dari cinta yang salah menurut-Nya. Ana masih diberi waktu
untuk berubah sebelum bertemu pendampingnya.
“Satu yang bikin gue yakin sama
Farel, An. Akhlaknya. Imannya. Gue nggak takut hidup kekurangan, karena dengan akhlak
dan imannya dia pasti tau kewajibannya sebagai suami. Gue juga bilang sama
bokap menikah yang paling baik itu karena akhlaknya. Dan akhirnya bokap setuju,
Alhamdulillah bokap sama nyokap juga udah baikan walau nggak bisa kayak dulu”
“Ran, gue nggak bisa bilang
apa-apa lagi. Gue bangga sama lo. Semoga lo bahagia terus dengan Farel yaa” Ana
memeluk sahabatnya lagi
“Aamiin, lo juga ya An. Semoga secepatnya
menemukan seseorang yang baik menurut Allah” Rania mengusap-usap kepala Ana
***
1 bulan kemudian...
Ana meneteskan air matanya ketika
menyaksikan bahwa sahabat terbaiknya Rania Adilla Putri kini sudah sah menjadi
istri dari Farel Prasetya. Rania sangat cantik dengan balutan kebaya putihnya.
Dalam hati Ana, ia pun ingin segera menemukan jodohnya, jodoh yang menawarkan
kebahagiaan yang kekal abadi. Aamiin, ucapnya dalam hati.
“Sorry, sorry gue nggak sengaja”
ujar seorang lelaki membuyarkan lamunan Ana yang sedang berkhayal duduk dikursi
pelaminan dengan calon yang entah siapa. Lelaki itu tidak sengaja menyenggol
Ana karena ia terlalu fokus mengambil foto Rania dan Farel.
“Dimas?” Ana yang tadinya kesal seketika
berubah menjadi senyum ketika melihat lelaki yang menyenggolnya tadi
“Ana? Ya ampun An, apa kabar? Duh
maafin ya gue tadi nggak sengaja” Dimas menjulurkan tangannya kepada Ana
“Baik, Dim. Haha iya nggak
apa-apa. Sekarang kerja dimana, Dim?” Ana menjabat tangan Dimas, kemudian
mereka mengobrol banyak.
Acara pernikahan Rania dan Farel
selesai, tamu-tamu pun tidak ada, hanya tinggal saudara dan beberapa teman
dekat mempelai seperti Ana dan Dimas. Setelah beberapa kali berfoto bersama,
mereka berempat berbincang.
“Ana kenal Dimas darimana?” tanya
Farel heran
“Aku dulu ikut organisasi untuk bakti
sosial gitu kak, nah kebetulan Dimas ikut juga kita kenalan deh disana, sempet
sih beberapa kali kumpul bareng sama anak-anak lainnya, tapi semenjak aku sibuk
skripsi aku jarang kumpul, terakhir ketemu tahun lalu ya, Dim?” ujar Ana sambil
menatap Dimas
“Iya, An. Gue juga nggak nyangka
bisa ketemunya di nikahan lo, Rel” Dimas balas menatap Ana
“Kalau jodoh pasti ketemu kan,
An?” goda Rania. Sementara Farel terlihat bingung dengan ucapan Rania
Ana melotot pada Rania dan Rania
tertawa melihat sahabatnya itu sedikit gugup.
“Dimas baik kok, An. Ana juga
baik, Dim” Farel menepuk pundak Dimas, sahabatnya.
Dimas dan Ana saling tatap dan
tersenyum malu.
***
“Cari buku apa, An?”
Ana menoleh ke asal suara yang
menyapanya. “Dimas, cari buku juga?” Ana tersenyum.
“Iya, mau beli buku tentang
fotografi”
“Fotografi? Kamu pindah kerjaan?
Dimas tertawa. “Enggak, An. Udah
beberapa bulan ini aku belajar moto dan seminggu yang lalu temenku nawarin
kerja jadi fotografer di studionya”
“Oooh gitu, tapi jadi wartawan
masih?”
“Masih, yaa atur-atur waktu aja
sih, An. Lumayan buat tambahan penghasilan”
“Hebat kamu, Dim. Awas jangan
sampai ada yang keteteran”
“Maruk ya, An? Haha. InsyaAllah
enggak An. Terus kamu cari buku apa?”
“Nih” Ana menunjukkan beberapa
buku ditangannya.
“An, lagi free nggak? Kita ngobrol
sebentar sambil makan, bisa?”
“Oke”
***
“Seriusssss? Terus lo jawab apa
An?”
“Gue bilang gue perlu waktu” ucap
Ana lemah. Setelah pertemuan dengan Dimas di toko buku tadi dan dilanjutkan
mengobrol, perasaan Ana jadi tidak karuan. Senang, sedih, bingung, ragu dan
perasaan lainnya menyelimuti hatinya. Dimas tiba-tiba berkata ingin menjalani
hubungan serius dengan Ana dalam ikatan yang halal. Ana langsung menuju istana
kecil Rania dan Farel dan menceritakan semuanya pada Rania.
“An, Dimas itu cowok baik lho. Lo
masih kepikiran Rian, Bara, atau Dira? Ayolah An, buka hati lo buat Dimas.
Bukannya lo pernah cerita sama gue, lo suka sama Dimas dari pertama lo liat dia
di organisasi kan?”
Ana mengangguk lemas. “Coba gue
tanya, apa yang bikin lo suka sama dia waktu itu?” lanjut Rania
“Dia, dia baik. Sopan. Dan poin
plus yang paling gue suka dari dia adalah ibadahnya”
“Gue tambahin, dia sangat sayang
keluarganya, terutama nyokapnya. Dia pekerja keras dan selama dia pacaran dia
nggak pernah nyakitin ceweknya, malah ceweknya pada nyerah karena dia terlalu
baik. Sabar, jarang banget marah, kecuali dibohongin.”
Ana mengerutkan dahinya. Memandang
Rania heran. Tau darimana Rania soal Dimas?
“Gue tau dari Farel, An” Rania
seolah tau arti tatapan sahabatnya itu. “An, baca buku yang gue kasih kan?” Ana
mengangguk. “Harusnya lo udah tau dong lelaki seperti apa yang harus dipilih
untuk jadi seorang imam? Rumah tangga itu seumur hidup. Bukan untuk setahun,
sepuluh tahun. Seumur hidup, An. Apa yang bikin lo ragu dengan Dimas itu
pekerjaannya?”
Ana tidak menjawab. “An, setiap
istri itu bawa rezeki untuk suaminya. Dan pernikahan itu hal baik. Allah pasti
memudahkan rezeki. Pernah nggak lo denger ada sepasang suami istri yang
menderita banget sampe mati? Nggak pernah kan? Sesusah-susahnya seenggaknya
setiap harinya mereka bisa makan, asal mereka berusaha. Bahagia itu sederhana,
An. Asal kita menyederhanakannya. Misalkan bisa makan saja, Alhamdulillah. Bisa
tidur, Alhamdulillah.”
“Uang itu hanya pemenuh kepuasan
lo An. Lo liat sekarang gue tinggal dirumah kecil ini, apa gue bahagia? Bahagia
banget, An. Farel memang nggak punya harta melimpah, tapi akhak baiknya
melimpah. Cari pasangan hidup bukan Cuma sekedar baik, An. Tapi juga yang bisa bikin
lo lebih baik.” Rania memeluk Ana yang mulai meneteskan air matanya.
“Gue tau nggak cuma lo yang
kepikiran ini, tapi juga orang tua lo. Itu wajar, karena orang tua lo juga berusaha
memberikan segalanya yang terbaik buat lo. Sekarang lo yakinin diri lo, kalau
lo udah yakin, yakinin orang tua lo juga” lanjut Rania sambil mengusap kepala
Ana.
“Tapi Ran, masa baru kita ketemu
lagi tiba-tiba Dimas mau serius sama gue? Dia kan belum tau jauh lebih banyak
tentang gue” ujar Ana sambil menyeka air matanya
“Siapa bilang, semenjak pertemuan
lo di pernikahan gue, tiap hari Dimas kesini, dia cari tau tentang lo dari gue
dan Farel, dan gue cerita. Tentang sifat lo, kelebihan dan kekurangan lo” Rania
tersenyum
Ana terkejut mendengar perkataan
Rania. Namun, sedikitnya ia merasa lega karena Dimas sudah mengetahui
tentangnya.
Sesampainya dirumah, Ana
merenungkan semua ucapan Rania. Rania benar. Kebahagiaan itu bukan diukur dari
uang, kebahagiaan itu sederhana. Dipenuhi rasa cinta dari orang yang kita
sayang dan menyayangi kita. Ana memberanikan diri menceritakan semua pada
Mamahnya, soal Dimas. Soal keyakinannya kalau mapan bukan jaminan pernikahan
itu bahagia yang sesungguhnya.
“Ana nggak munafik, Mah. Uang itu
penting, tapi Ana percaya kebahagiaan bukan hanya dari itu. Ana hidup berkecukupan
sekarang, Ana bisa beli ini itu yang Ana suka, Papah Mamah selalu kasih apa
yang Ana minta. Ana senang, tapi itu hanya sesaat”
“Tapi An, Papah Mamah ingin yang
terbaik buat Ana” Ujar Mamah sambil memegang tangan Ana
“Mah, liat kak Denisa. Dia nikah
dengan orang kaya. Semua keinginan kak Denisa terpenuhi, yang kasih rezeki itu
Allah, sewaktu-waktu Allah bisa ambil semuanya, lalu saat semuanya hilang apa
masih bisa disebut rumah tangga yang bahagia?”
Mamahnya terdiam mendengar ucapan
Ana tentang kakak sepupunya. Tiba-tiba Mamahnya pun menangis. Menyadari apa
yang dikatakan anak semata wayangnya benar.
“Iya sayang, Mamah mengerti.
Maafin mamah papah yah. Nanti kita bicarakan dengan Papah” Mamah memeluk Ana
erat sambil mengelus rambutnya.
***
Seminggu berlalu. Setelah meminta
petunjuk pada Allah Ana yakin dengan pilihannya. Dimas. Lelaki yang hanya ia dambakan
sedari dulu. Ana cukup mengenalnya, perilakunya dan mengaguminya. Malam itu Ana
berusaha meyakinkan Papahnya bersama Mamahnya.
“Pah, Ana mau bicara” Ana duduk
disamping Papahnya yang sedang membaca koran
“Soal Dimas? Papah sudah dengar
dari Mamah” ujar Papah, pandangannya tetap tertuju pada koran yang ia baca
“Terus gimana, Pah?”
“Panggil dia sekarang, Papah yang
akan berbicara langsung”
Ana tercengang. Bingung. Apa yang
akan dibicarakan Papahnya. Ana menatap Mamah. Mamahnya pun sama heran. Ana
langsung menghubungi Dimas. 1 jam kemudian Dimas datang dan sudah duduk bersama
Ana sekeluarga diruang tamu.
“Sudah kenal Ana berapa lama?”
tanya Papah Ana memecahkan keheningan beberapa saat. Suara papah yang tegas
membuat Ana takut sendiri, takut-takut Papah menyinggung perasaan Dimas.
“Sekitar 3 tahun, Om. Kebetulan
kami satu organisasi jadi saya sedikitnya mengetahui Ana” jawab Dimas dengan
mantap
“Sudah tau Ana belum bisa masak
dengan enak? Kadang keasinan, kemanisan. Dia juga tukang main, tukang tidur
dan....”
“Papah bagusin kek anaknya”
protes Ana
Dimas tersenyum “Sudah, Om. Dari Rania,
sahabat Ana”
“Lalu, bagaimana?” tanya Papah
lagi
“Tidak apa-apa, Om. Kalau sudah
menikah saya yakin Ana tau kewajibannya pasti dia berubah”
Aaaah hati Ana meleleh mendengar
jawaban Dimas
“Lalu kamu punya apa dengan yakin
mengajak Ana berumah tangga?”
Ana lemas. Mukanya pucat.
Begitupun Mamah, terkejut dengan pertanyaan Papah. Dimas menarik nafas panjang.
“Saat ini kerjaan saya mungkin
tergolong belum mapan, tapi insyaAllah saya punya penghasilan tetap perbulan,
dengan keyakinan saya terhadap janji Allah saya ingin melamar Ana, saya yakin
Ana akan membawa rezeki untuk saya dan dengan pernikahan rezekinya semakin
mengalir, Om. Saya juga akan berusaha terus membahagiakan Ana, saya sayang Ana
karena Allah, jadi insyaAllah saya tau kewajiban saya sebagai suami om”
Ana meneteskan air matanya. Mamah
pun memeluk Ana. Papah mengangguk-angguk mendengar jawaban Dimas.
“Jangan hanya ngomong, buktikan”
Ujar Papah Ana
“Maksudnya, Om?”
“Kapan kamu bawa orang tua kamu
kalau kamu memang niat serius?”
“Alhamdulillah” Dimas tersenyum
lega. Ana, Mamah dan Papah pun akhirnya tersenyum. “Lusa saya kesini insyaAllah
dengan kedua orang tua saya, Om”
“Alhamdulillah, terimakasih Pah,
Mah” Ana memeluk Papah Mamahnya bergantian.
Dimas, kita memang belum pernah
menjalin hubungan, tapi aku yakin dengan cintamu yang besar terhadap Allah,
kamu akan menjadi imam yang baik kelak untukku dan memberikan kebahagiaan yang
kekal abadi, InsyaAllah.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com danNulisbuku.com
0 komentar